Hukum Menikahi Wanita Pezina
Oleh: Nikma Nurul Izzah
A.
Latar Belakang
Penulis pernah ditanya oleh teman tentang teman kami yang berzina dengan
pacarnya. Kemudian pacarnya menikahinya dalam keadaan hamil. Ia bertanya :
“Bolehkah menikahi wanita dalam keadaan hamil?”
Dalam hal ini bagaimanakah status hukum menikahi wanita pezina. Berangkat
dari masalah ini penulis ingin membahasnya di makalah ini.
II. PEMBAHASAN
A. Definisi Nikah dan Pezina
Nikah secara etimologi mashdar نَكَحَ
– يَنْكِحُ- نِكَاحًاdari kata yang
berarti mengumpulkan, atau sebuah pengibaratan akan sebuah hubungan intim dan
akad sekaligus yang ada dalam syari’at dikenal dengan akad nikah.[1]
Sedangkan secara terminologi syari’at nikah berarti sebuah akad yang
mengandung pembolehan bersenang-senang dengan perempuan dengan berhubungan
intim, menyentuh, mencium, memeluk dan sebagainya jika perempuan tersebut bukan
termasuk mahram dari segi nasab, sesusuan, dan keluarga.[2]
Adapun pezina adalah orang yang berzina. Dalam bahasa arab pezina
berarti الزَّانِيْ dari kata زَنَى - يَزْنِيْ –
زِنًا – فهو زَانٍ . Zina secara etimologi adalah
mesum. Menurut terminologi syari’at adalah persetubuhan yang dilakukan seorang
laki-laki dan perempuan pada kemaluan depannya tanpa didasari dengan tali
kepemilikan dan syubhat kepemilikan.[3]
B. Anjuran Menikah dan
Larangan Berzina
Allah berfirman:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا
فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30)
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah
kepada laki-laki mu’min hendaklah menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan
mereka, karena itu lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Allah mengetahui apa
yang mereka kerjakan. Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan mu’min,
hendaklah menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan mereka...” (QS.
An-Nuur: 30-31)
Dalam ayat di atas Allah memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan yang
beriman untuk selalu menjaga pandangan dan memelihara kemaluan karena dapat
menyucikan diri mereka. Maka sebagai bentuk penjagaan Allah, pernikahan adalah
solusi penghalalan segala sesuatu dari laki-laki dan perempuan yang sebelumnya
diharamkan oleh syari’at dan bernilai ibadah bagi yang melakukannya sebagaiman
dalam firman-Nya:
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ
وَإِمَائِكُم
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih
membujang diantara kamu, dan juga orang-orang yang layak menikah dari hamba
sahayamu yang laki-laki dan perempuan.” (QS. An-Nuur: 32)
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pun juga menganjurkannya sebagaimana sabdanya yang
artinya : “ Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian yang mampu memberi
nafkah, maka menikahlah. Karena hal itu lebih menundukkan pandangan dan menjaga
kemaluan. Jika kalian belum mampu maka berpuasalah karena dengannya akan
menjadi perisai (baginya).”[4]
Namun, dewasa ini umat
islam semakin menjauh dari nilai-nilai agama yang ditambah lagi dengan kemajuan
dunia teknologi menjadikan komunikasi lawan jenis menjadi mudah seakan tak ada batas yang pada akhirnya
merebaknya perzinaan di tengah masyarakat. Padahal Allah telah mengharamkan
para hamba-Nya untuk mendekati zina sebagaimana yang tertuang dalam firman-Nya:
وَلَا
تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلًا
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina, (zina) itu sungguh suatu
perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32)
Ayat diatas menunjukkan
bahwa mendekati zina adalah haram apalagi berzina.
C. Hukum Menikahi Wanita
Pezina
Para ulama’ berselisih pendapat mengenai hal ini. Jumhur fuqaha berpendapat
bolehnya menikahi wanita pezina. Sebagian juga ada yang tidak memperbolehkannya.[5] Yang
menjadi sebab perselisihan diantara mereka adalah dalam menafsirkan firman
Allah
وَالزَّانِيَةُ
لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina
laki-laki atau dengan laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan bagi
orang-orang mukmin.” (QS. An-Nuur: 3)
Kelompok yang tidak
membolehkannya memahami ayat tersebut sebagai bentuk pengharaman. Sedangkan
kelompok yang membolehkan (jumhur fuqaha) memahami ayat tersebut sebagai bentuk
pengecaman, bukan pengharaman. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu
Abbas, ia berkata, “Seorang laki-laki datang menghadap Nabi, lantas dia
berkata, ‘ Sesungguhnya istriku tidak terlepas dari zina.’” Rasulullah bersabda
“Jauhkanlah dia.” Orang tersebut kembali berkata, “ Aku takut jika diriku
selalu teringat kepadanya.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Maka bersenang-senanglah
dengannya.”[6]
Juga berdasarkan hadits
dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda:
لا
يحرم الحرام الحلال
“Sesuatu yang haram tidak boleh
menjadikan yang halal menjadi haram.”[7]
Adapun perselisihan
pendapat di kalangan imam empat madzhab sebagai berikut:
Abu Hanifah dan Abu Yusuf berpendapat bolehnya menikahi wanita pezina dan
menggaulinya sebelum ia beristibra’[9].
Namun Muhammad mengatakan “Aku tidak suka jika seorang laki laki menggaulinya
sebelum ia beristibra’.” Hal ini sebagai bentuk kehati-hatian jika
tercampurnya mani lelaki yang menzinahinya. [10]
Jika wanita tersebut hamil maka boleh menikahinya tetapi tidak boleh
menggaulinya sampai ia melahirkan menurut Abu Hanifah dan Muhammad. Berdasarkan
dalil-dalil berikut:
a.
Perempuan yang berzina tidak disebutkan dalam kelompok para perempuan yang
haram dinikahi. Berarti dia boleh untuk dinikahi sebagaimana dalam firman-Nya:
وَأُحِلَّ
لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ
“Dan dihalalkan bagimu selain
(perempuan-perempuan) yang demikian itu.” (QS. An-Nisa’: 24)
b.
Tidak ada kehormatan bagi air sperma zina. Dengan dalil bahwa perbuatan
zina ini tidak menetapkan nasab, sebagaimana sabda Nabi:
الولد
للفراش للعاهر الحجر
Anak bagi
orang yang membuat hamil ibunya dan anak yang lahir dari pelacur tidak dapat
dinasabkan kepada pelaku yang menghamilinya.”[11]
Akan tetapi Abu Yusuf dan Zufar tetap berpendapat tidak boleh menikahinya
karena kehamilannya yang mencegah adanya jima’. Maka dilarang melaksanakan akad
sebagaiman kehamilan juga mencegah penetapan nasab.[12] Sebagaimana
hadits dari Ruwaifi’ bin Tsabit, Rasulullah bersabda:
من كان يؤمن بالله و
اليوم الأخر فلا يسقين ماءه زرع غيره
“Barangsiapa yang beriman dengan
Allah dan Rasul-Nya maka janganlah menyiramkan air spermanya kepada janin milik
orang lain.” (HR. Tirmidzi no. 1131)[13]
Madzhab Maliki berpendapat tidak boleh melaksanakan akad terhadap perempuan
yang pezina sebelum ia beristibra’ selama tiga kali haid atau tiga bulan. Jika
akad nikah telah dilaksanakan sebelum ia beristibra’ maka akad pernikahan ini
adalah akad yang fasid. Akad ini harus dibatalkan, baik terjadi kehamilan
maupun tidak.
Madzhab Syafi’i memperbolehkan seorang lelaki menikahi wanita yang ia
zinahi dan boleh menggaulinya sebelum ia beristibra’. Berdasarkan firman
Allah:
وَأُحِلَّ
لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ
“Dan dihalalkan bagimu selain
(perempuan-perempuan) yang demikian itu.” (QS. An-Nisa’: 24)
Juga berdasarkan hadits dari Ibnu Umar, Rasulullah ditanya seorang lelaki
yang berzina dengan seorang perempuan dan ia ingin menikahinya atau menikahi
anaknya. Maka Rasulullah bersabda: “Sesuatu yang haram tidak boleh menjadikan
yang halal menjadi haram.”
Imam Syafi’i mengatakan : Aku membenci seorang lelaki yang menikah
dengannya. Tetapi jika ia menikahinya maka tidak batal pernikahannya.
4. Madzhab Hanbali[16]`
Wanita pezina boleh dinikahi dengan lelaki yang menzinahinya atau lelaki
lain jika terpenuhi dua syarat:
a.
Telah selesai masa iddahnya.
Jika ia wanita hamil, maka iddahnya adalah melahirkan. Tidak halal dinikahi
sebelum melahirkan. Hal ini berdasarkan hadits dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda: “Barangsiapa yang beriman dengan Allah
dan Rasul-Nya maka janganlah menyiramkan air spermanya kepada janin milik orang
lain.”[17]
Maksudnya menggauli wanita hamil.
b. Bertaubat dari zina.
Hal ini seperti yang dikatakan oleh Qatadah, Ishaq dan Abu Ubaid. Firman
Allah yang “Dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina
laki-laki atau dengan laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan bagi
orang-orang mukmin” dimaksudkan bagi pezina yang belum bertaubat. Jika telah
bertaubat maka boleh menikahinya. Seperti sabda nabi “ Seseorang yang bertaubat
dari dosa seperti halnya ia tidak memiliki dosa.”[18]
Adapun taubatnya diketahui dengan ia meminta ampunan kepada Allah,
menyesal, dan meninggalkan perbuatan dosanya.
Jika seorang perempuan muhshon berzina dengan orang lain menurut Imam Ahmad
maka ia harus dipisah dari suaminya. Suaminya tidak boleh menggaulinya sampai
ia beristibra’ dengan tiga kali haid. Adapun pendapat yang lebih utama adalah
beristibra’ dengan satu kali haid saja.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Wanita pezina boleh
menikah dan dinikahi oleh orang lain atau orang yang menzinainya dengan syarat
ia telah bertaubat dari zina.
2. Wanita pezina yang hamil
harus beristibra’ selama tiga kali haid sebelum digauli oleh suaminya
B. Saran
Menikah dengan wanita pezina yang telah bertaubat boleh-boleh saja. Namun penulis
menyarankan kepada para lelaki hendaknya dan lebih utama menikahi wanita yang
baik-baik. Wallahu A’lam Bishshawab
DAFTAR PUSTAKA
Ainani, Al Abu Muhammad
Mahmud, Al Binayah fi Syarh Al Hidayah, Beirut: Dar Al-Fikr, 1980 M
Al-Qur’an Al Karim.
Departemen Agama
Bukhari, Al-, Muhammad
bin Ismail, Shahih Bukhari, Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2015 M
http://www.fiqihmuslimah.com/mbt/x.php?id=66
diakses pada hari Kamis tanggal 24 November 2016 pukul 01:59
Kasani, Al-, Abu Bakar. Badai’
As-Shanai’ fi Tartiib Asy-Syarai’, Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2003 M
Maqdisi, Al-, Ibnu Qudamah,
Al-Mughni ‘ala Muktashor Al-Khiroqi, cetakan: 4, Beirut: Dar Al-Kotob
Al-Ilmiyah, 2008 M
Naisaburi, An-, Muslim
bin Al-Hajjaj, Shahih Muslim, Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2015 M
Nasa’i, An-, Ahmad bin Syu’aib. Sunan An-Nasa’i, Beirut: Dar
Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2015 M
Qazwani, Al-, Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah, Beirut: Dar
Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2013 M
Qurthubi, Al-, Ibnu
Rusyd, Bidayah Al Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid, Jakarta: Dar
Al-Kutub Al-Islamiyah, 2012 M
Syairazi, Asy-, Abu Ishaq
Ibrahim, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, Lebanon: Dar Al-
Kotob Al-Ilmiyah, 2011 M
Tirmidzi, At-, Muhammad
bin Isa, Sunan At-Tirmidzi, Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2016 M
Zuhaili, -Az, Wahbah. Al-Fiqh
Al-Islami wa Adillatuhu, penerjemah: Abdul Hayyie Al Kattani, Jakarta: Gema
Insani, 2010 M
[1] Prof. Dr. Wahbah Az
Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani & Darul
Fikir, 2011 ), terj. Abdul Hayyie Al-Kattani, jild. 9, hlm. 39
[2] Prof. Dr.
Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani
& Darul Fikir, 2011 ), terj. Abdul Hayyie Al-Kattani, jild. 9, hlm. 39
[3] Prof. Dr. Wahbah Az
Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani & Darul
Fikir, 2011 ), terj. Abdul Hayyie Al-Kattani, jild. 9, hlm. 303
[4] Muslim bin Al-Hajjaj
An-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2015), hlm.
, no. hadits 3464
[5] Ibnu Rusyd Al Qurthuby, Bidayah
Al Mujtahid wa Nihayah Al Muqtashid, (Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah,
2012), jild.2, hlm. 41
[6] Ahmad bin
Syu’aib An Nasa’i, Sunan An-Nasa’i, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah,
2015), hlm. 563, no. hadits 3461
[7] Muhammad
bin Yazid Al-Qazwani, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar Al-Kotob
Al-Ilmiyah, 2013), hlm. 321, no. hadits 2015
[8] Abu
Muhammad Mahmud Al-Ainani, Al-Binayah fi Syarh Al-Hidayah, (Beirut: Dar
Al-Fikr, 1980), jild. 4, hlm. 563-564
[10] Abu Muhammad Mahmud Al-Ainani, Al-Binayah fi Syarh Al-Hidayah, (Beirut:
Dar Al-Fikr, 1980), jild. 4, hlm. 563-564
[11] Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar Al-Kotob
Al-Ilmiyah, 2015), hlm.370, no. Hadits 2503
[12] Abu Bakar bin Mas’ud Al-Hanafi, Badai’ Ash-Shanai’ fi Tartib Asy-Syarai’,
(Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2003), jild. 3, hlm. 453
[13] Muhammad
bin Isa At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah,
), hlm: 294 dengan lafadz ولد غيره
[14] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih
Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani Press & Darul Fikir, 2011),
terj Abdul Hayyie Al-Kattani, jild. 9, hlm. 145
[15] Abu Ishaq Ibrahim
Asy-Syairazi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, (Beirut: Dar Al-Kotob
Al-Ilmiyah, 2011), jild. 19, hlm: 251-253
[16] Ibnu
Qudamah Al-Maqdisi, Al Mugni ‘ala Mukhtashor Al-Khiroqi, (Beirut: Dar
Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2008) jild. 5, hlm. 487-490
[17] Muhammad
bin Isa At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, (Beirut: Dar Al-Kotob
Al-Ilmiyah, ), hlm: 294, no. hadits 1131 dengan lafadz ولد غيره
[18] Muhammad
bin Yazid Al-Qazwani, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar Al-Kotob
Al-Ilmiyah, 2013), hlm. 321, no. Hadits 4250