Karena semangat lillah, kau tak kan pernah patah...

Sabtu, 24 Desember 2016

Hukum Menikahi Wanita Pezina


Hukum Menikahi Wanita Pezina
Oleh: Nikma Nurul Izzah
 
I. PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Penulis pernah ditanya oleh teman tentang teman kami yang berzina dengan pacarnya. Kemudian pacarnya menikahinya dalam keadaan hamil. Ia bertanya : “Bolehkah menikahi wanita dalam keadaan hamil?”    

 
Dalam hal ini bagaimanakah status hukum menikahi wanita pezina. Berangkat dari masalah ini penulis ingin membahasnya di makalah ini.

II. PEMBAHASAN
A.      Definisi Nikah dan Pezina
Nikah secara etimologi mashdar  نَكَحَ – يَنْكِحُ- نِكَاحًاdari kata yang berarti mengumpulkan, atau sebuah pengibaratan akan sebuah hubungan intim dan akad sekaligus yang ada dalam syari’at dikenal dengan akad nikah.[1]
Sedangkan secara terminologi syari’at nikah berarti sebuah akad yang mengandung pembolehan bersenang-senang dengan perempuan dengan berhubungan intim, menyentuh, mencium, memeluk dan sebagainya jika perempuan tersebut bukan termasuk mahram dari segi nasab, sesusuan, dan keluarga.[2]
Adapun pezina adalah orang yang berzina. Dalam bahasa arab pezina berarti  الزَّانِيْ  dari kata زَنَى - يَزْنِيْ – زِنًا – فهو زَانٍ . Zina secara etimologi adalah mesum. Menurut terminologi syari’at adalah persetubuhan yang dilakukan seorang laki-laki dan perempuan pada kemaluan depannya tanpa didasari dengan tali kepemilikan dan syubhat kepemilikan.[3]

B.       Anjuran Menikah dan Larangan Berzina
Allah berfirman:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30) وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ

“Katakanlah kepada laki-laki mu’min hendaklah menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan mereka, karena itu lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka kerjakan. Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan mu’min, hendaklah menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan mereka...” (QS. An-Nuur: 30-31)
Dalam ayat di atas Allah memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan yang beriman untuk selalu menjaga pandangan dan memelihara kemaluan karena dapat menyucikan diri mereka. Maka sebagai bentuk penjagaan Allah, pernikahan adalah solusi penghalalan segala sesuatu dari laki-laki dan perempuan yang sebelumnya diharamkan oleh syari’at dan bernilai ibadah bagi yang melakukannya sebagaiman dalam firman-Nya:
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُم
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang diantara kamu, dan juga orang-orang yang layak menikah dari hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan.” (QS. An-Nuur: 32)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun juga menganjurkannya sebagaimana sabdanya yang artinya : “ Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian yang mampu memberi nafkah, maka menikahlah. Karena hal itu lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Jika kalian belum mampu maka berpuasalah karena dengannya akan menjadi perisai (baginya).”[4]
Namun, dewasa ini umat islam semakin menjauh dari nilai-nilai agama yang ditambah lagi dengan kemajuan dunia teknologi menjadikan komunikasi lawan jenis menjadi mudah  seakan tak ada batas yang pada akhirnya merebaknya perzinaan di tengah masyarakat. Padahal Allah telah mengharamkan para hamba-Nya untuk mendekati zina sebagaimana yang tertuang dalam firman-Nya:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلًا
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina, (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32)
Ayat diatas menunjukkan bahwa mendekati zina adalah haram apalagi berzina. 
C.      Hukum Menikahi Wanita Pezina
Para ulama’ berselisih pendapat mengenai hal ini. Jumhur fuqaha berpendapat bolehnya menikahi wanita pezina. Sebagian juga ada yang tidak memperbolehkannya.[5] Yang menjadi sebab perselisihan diantara mereka adalah dalam menafsirkan firman Allah
وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin.” (QS. An-Nuur: 3)
Kelompok yang tidak membolehkannya memahami ayat tersebut sebagai bentuk pengharaman. Sedangkan kelompok yang membolehkan (jumhur fuqaha) memahami ayat tersebut sebagai bentuk pengecaman, bukan pengharaman. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Seorang laki-laki datang menghadap Nabi, lantas dia berkata, ‘ Sesungguhnya istriku tidak terlepas dari zina.’” Rasulullah bersabda “Jauhkanlah dia.” Orang tersebut kembali berkata, “ Aku takut jika diriku selalu teringat kepadanya.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Maka bersenang-senanglah dengannya.”[6]
Juga berdasarkan hadits dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda:
لا يحرم الحرام الحلال
“Sesuatu yang haram tidak boleh menjadikan yang halal menjadi haram.”[7]
Adapun perselisihan pendapat di kalangan imam empat madzhab sebagai berikut:
1.      Madzhab Hanafi[8]
Abu Hanifah dan Abu Yusuf berpendapat bolehnya menikahi wanita pezina dan menggaulinya sebelum ia beristibra’[9]. Namun Muhammad mengatakan “Aku tidak suka jika seorang laki laki menggaulinya sebelum ia beristibra’.” Hal ini sebagai bentuk kehati-hatian jika tercampurnya mani lelaki yang menzinahinya. [10]   
Jika wanita tersebut hamil maka boleh menikahinya tetapi tidak boleh menggaulinya sampai ia melahirkan menurut Abu Hanifah dan Muhammad. Berdasarkan dalil-dalil berikut:
a.    Perempuan yang berzina tidak disebutkan dalam kelompok para perempuan yang haram dinikahi. Berarti dia boleh untuk dinikahi sebagaimana dalam firman-Nya:
وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ
 “Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu.” (QS. An-Nisa’: 24)
b.    Tidak ada kehormatan bagi air sperma zina. Dengan dalil bahwa perbuatan zina ini tidak menetapkan nasab, sebagaimana sabda Nabi:
الولد للفراش للعاهر الحجر
Anak bagi orang yang membuat hamil ibunya dan anak yang lahir dari pelacur tidak dapat dinasabkan kepada pelaku yang menghamilinya.”[11]
Akan tetapi Abu Yusuf dan Zufar tetap berpendapat tidak boleh menikahinya karena kehamilannya yang mencegah adanya jima’. Maka dilarang melaksanakan akad sebagaiman kehamilan juga mencegah penetapan nasab.[12] Sebagaimana hadits dari Ruwaifi’ bin Tsabit, Rasulullah bersabda:
من كان يؤمن بالله و اليوم الأخر فلا يسقين ماءه زرع غيره
“Barangsiapa yang beriman dengan Allah dan Rasul-Nya maka janganlah menyiramkan air spermanya kepada janin milik orang lain.” (HR. Tirmidzi no. 1131)[13]

2.      Madzhab Maliki[14]
Madzhab Maliki berpendapat tidak boleh melaksanakan akad terhadap perempuan yang pezina sebelum ia beristibra’ selama tiga kali haid atau tiga bulan. Jika akad nikah telah dilaksanakan sebelum ia beristibra’ maka akad pernikahan ini adalah akad yang fasid. Akad ini harus dibatalkan, baik terjadi kehamilan maupun tidak.

3.      Madzhab Syafi’i[15]
Madzhab Syafi’i memperbolehkan seorang lelaki menikahi wanita yang ia zinahi dan boleh menggaulinya sebelum ia beristibra’. Berdasarkan firman Allah:
وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ
 “Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu.” (QS. An-Nisa’: 24)
Juga berdasarkan hadits dari Ibnu Umar, Rasulullah ditanya seorang lelaki yang berzina dengan seorang perempuan dan ia ingin menikahinya atau menikahi anaknya. Maka Rasulullah bersabda: “Sesuatu yang haram tidak boleh menjadikan yang halal menjadi haram.”
Imam Syafi’i mengatakan : Aku membenci seorang lelaki yang menikah dengannya. Tetapi jika ia menikahinya maka tidak batal pernikahannya.

4.      Madzhab Hanbali[16]`
Wanita pezina boleh dinikahi dengan lelaki yang menzinahinya atau lelaki lain jika terpenuhi dua syarat:
a.       Telah selesai masa iddahnya.
Jika ia wanita hamil, maka iddahnya adalah melahirkan. Tidak halal dinikahi sebelum melahirkan. Hal ini berdasarkan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda: “Barangsiapa yang beriman dengan Allah dan Rasul-Nya maka janganlah menyiramkan air spermanya kepada janin milik orang lain.”[17] Maksudnya menggauli wanita hamil.
b.      Bertaubat dari zina.
Hal ini seperti yang dikatakan oleh Qatadah, Ishaq dan Abu Ubaid. Firman Allah yang “Dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin” dimaksudkan bagi pezina yang belum bertaubat. Jika telah bertaubat maka boleh menikahinya. Seperti sabda nabi “ Seseorang yang bertaubat dari dosa seperti halnya ia tidak memiliki dosa.”[18]
Adapun taubatnya diketahui dengan ia meminta ampunan kepada Allah, menyesal, dan meninggalkan perbuatan dosanya.
Jika seorang perempuan muhshon berzina dengan orang lain menurut Imam Ahmad maka ia harus dipisah dari suaminya. Suaminya tidak boleh menggaulinya sampai ia beristibra’ dengan tiga kali haid. Adapun pendapat yang lebih utama adalah beristibra’ dengan satu kali haid saja.  


 III. PENUTUP
A.      Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.    Wanita pezina boleh menikah dan dinikahi oleh orang lain atau orang yang menzinainya dengan syarat ia telah bertaubat dari zina.
2.    Wanita pezina yang hamil harus beristibra’ selama tiga kali haid sebelum digauli oleh suaminya
B.       Saran
Menikah dengan wanita pezina yang telah bertaubat boleh-boleh saja. Namun penulis menyarankan kepada para lelaki hendaknya dan lebih utama menikahi wanita yang baik-baik. Wallahu A’lam Bishshawab

DAFTAR PUSTAKA

Ainani, Al Abu Muhammad Mahmud, Al Binayah fi Syarh Al Hidayah, Beirut: Dar Al-Fikr, 1980 M

Al-Qur’an Al Karim. Departemen Agama

Bukhari, Al-, Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhari, Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2015 M

http://www.fiqihmuslimah.com/mbt/x.php?id=66 diakses pada hari Kamis tanggal 24 November 2016 pukul 01:59

Kasani, Al-, Abu Bakar. Badai’ As-Shanai’ fi Tartiib Asy-Syarai’, Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2003 M

Maqdisi, Al-, Ibnu Qudamah, Al-Mughni ‘ala Muktashor Al-Khiroqi, cetakan: 4, Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2008 M

Naisaburi, An-, Muslim bin Al-Hajjaj, Shahih Muslim, Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2015 M

Nasa’i, An-, Ahmad bin Syu’aib. Sunan An-Nasa’i, Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2015 M
Qazwani, Al-, Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah, Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2013 M
Qurthubi, Al-, Ibnu Rusyd, Bidayah Al Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid, Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 2012 M

Syairazi, Asy-, Abu Ishaq Ibrahim, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, Lebanon: Dar Al-
Kotob Al-Ilmiyah, 2011 M

Tirmidzi, At-, Muhammad bin Isa, Sunan At-Tirmidzi, Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2016 M

Zuhaili, -Az, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, penerjemah: Abdul Hayyie Al Kattani, Jakarta: Gema Insani, 2010 M


[1] Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani & Darul Fikir, 2011 ), terj. Abdul Hayyie Al-Kattani, jild. 9, hlm. 39
[2] Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani & Darul Fikir, 2011 ), terj. Abdul Hayyie Al-Kattani, jild. 9, hlm. 39
[3] Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani & Darul Fikir, 2011 ), terj. Abdul Hayyie Al-Kattani, jild. 9, hlm. 303
[4] Muslim bin Al-Hajjaj An-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2015), hlm. , no. hadits 3464
[5] Ibnu Rusyd Al Qurthuby, Bidayah Al Mujtahid wa Nihayah Al Muqtashid, (Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 2012), jild.2, hlm. 41 
[6] Ahmad bin Syu’aib An Nasa’i, Sunan An-Nasa’i, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2015), hlm. 563, no. hadits 3461
[7] Muhammad bin Yazid Al-Qazwani, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2013), hlm. 321, no. hadits 2015
[8] Abu Muhammad Mahmud Al-Ainani, Al-Binayah fi Syarh Al-Hidayah, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1980), jild. 4, hlm. 563-564
[9] Istibra’ yaitu menunggu sampai diketahui tidak adanya janin dalam rahim
[10] Abu Muhammad Mahmud Al-Ainani, Al-Binayah fi Syarh Al-Hidayah, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1980), jild. 4, hlm. 563-564
[11] Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2015), hlm.370, no. Hadits 2503
[12] Abu Bakar bin Mas’ud Al-Hanafi, Badai’ Ash-Shanai’ fi Tartib Asy-Syarai’, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2003), jild. 3, hlm. 453
[13] Muhammad bin Isa At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, ), hlm: 294 dengan lafadz ولد غيره
[14] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani Press & Darul Fikir, 2011), terj Abdul Hayyie Al-Kattani, jild. 9, hlm. 145
[15] Abu Ishaq Ibrahim Asy-Syairazi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2011), jild. 19, hlm: 251-253
[16] Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al Mugni ‘ala Mukhtashor Al-Khiroqi, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2008) jild. 5, hlm. 487-490
[17] Muhammad bin Isa At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, ), hlm: 294, no. hadits 1131 dengan lafadz ولد غيره
[18] Muhammad bin Yazid Al-Qazwani, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2013), hlm. 321, no. Hadits  4250