RUKUN-RUKUN
SHALAT MENURUT EMPAT MADZHAB
Oleh : Nikma
Nurul Izzah
A.
PENDAHULUAN
Shalat
merupakan salah satu rukun kedua dari rukun islam yang lima. Ia merupakan ibadah
yang diwajibkan Allah subhaanahu wa ta’ala kepada setiap individu
hamba-Nya yang mukallaf. Kewajiban tersebut sudah banyak Allah firmankan
di dalam Al Qur’an. Allah berfirman :
وَ
أَقِيْمُوا الصَّلَاةَ وَ آتُوا الزَّكَاةَ
“Dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat.
Barangsiapa
yang baik sholatnya maka baiklah seluruh amal perbuatannya. Dan jika sholat
seseorang buruk maka buruklah seluruh amalannya. Sholat merupakan tiangnya
agama. Hidup seseorang tanpa sholat, maka tidaklah pantas dia disebut orang
muslim.
Jika
kita lihat kondisi masyarakat hari ini. Terutama diri kita sendiri. Banyak kita
dapatkan ketidakpahaman sebagian mereka dalam masalah sholat. Mereka sholat hanya
sekedar menjalankan perintah Allah tanpa memperhatikan hal-hal yang wajib
dilakukan dalam shalat. Artinya, tanpanya sholat menjadi tidak sah. Betapa
banyak umur manusia yang telah berlalu tanpa satupun ibadah sholat yang
diterima oleh Allah. Na’udzubillah min dzalik.
Dengan
makalah ini penulis ingin sedikit memaparkan satu hal yang sangat urgen dan harus
diketahui setiap individu muslim, yaitu rukun-rukun shalat.
B.
DEFINISI RUKUN-RUKUN SHALAT
Rukun
secara etimologi berasal dari kata رَكَنَ
يَرْكُنُ رُكْوْنًا yang berarti condong, cenderung.
Rukun berarti العماد و السند yang berarti tiang, penopang, sandaran[1]. Rukun
adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan[2].
Adapun
shalat secara etimologi adalah do’a[3].
Seperti dalam firman Allah:
وَ صَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ
“Dan
berdo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’amu itu (menumbuhkan) ketenteraman
jiwa bagi mereka.” (QS At Taubah: 103)
Secara
terminologi syar’i shalat berarti semua perkataan dan perbuatan tertentu yang
diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan niat dan syarat-syarat
tertentu[4].
Para
ulama’ fiqih dalam membahas masalah rukun biasa dengan memakai istilah ‘sifat
sholat’, maksudnya tata caranya, ‘nidhom as sholat’ atau ‘faroidh as-sholat.
Rukun-rukun
sholat seperti halnya syarat shalat yang harus dilakukan dan dipenuhi. Hanya
saja syarat dilaksanakan sebelum shalat dan berlanjut hingga akhir shalat.
Seperti suci dari hadats dan menutup aurat. Adapun rukun adalah yang harus dilaksanakan
dalam shalat seperti rukuk dan sujud.
Rukun
ibarat pondasi rumah. Rumah tak kan bisa berdiri tegak tanpa adanya pondasi.
Begitu pula dengan rukun sholat yang mana shalat tidak akan sempurna kecuali
dengan terpenuhinya semua rukun shalat.
C.
RUKUN-RUKUN SHALAT MENURUT 4 MADZHAB
Sebelum
berlanjut kepada pembahasan rukun-rukun sholat.
Terdapat sebuah hadits yang menerangkan tatacara shalat Rasulullah ﷺ :
))قَالَ أَبُوْ حُمَيْد : أَنَا أَعْلَمُكُمْ بِصَلَاةِ رَسُوْلِ اللهِ
ﷺ قَالُوْا
: فَاعْرِضْ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ إِذَا
قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيْ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ
ثُمَّ يُكَبِّرُ حَتَّى يُقِرُّ كُلُّ عَظْمٍ فِيْ مَوْضِعِهِ مُعْتَدِلًا ثُمَّ يَقْرَأُ
ثُمَّ يُكَبِّرُ فَيَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيْ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ ثُمَّ
يَرْفَعُ وَ يَضَعُ رَاحَتَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ يَعْتَدِلُ فَلَا يُصَوِّبُ
رَأْسَهُ وَلَا يُقْنِعُهُ ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ وَ يَقُوْلُ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ
حَمِدَهُ ثُمَّ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيْ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ مُعْتَدِلًا
ثُمَّ يَقُوْلُ اللهُ أَكْبَرُ ثُمَّ يَهْوِيْ إِلَى اْلأَرْضِ فَيُجَافِيْ يَدَيْهِ
عَنْ جَنْبَيْهِ ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ وَيُثْنِيْ رِجْلَهُ اْليُسْرَى فَيَقْعُدُ
عَلَيْهَا حَتَّى يَرْجِعُ كُلُّ عَظْمٍ إِلَى مَوْضِعِهِ ثُمَّ يَصْنَعُ فِيْ اْلأُخْرَى
مِثْل ذٰلِكَ ثُمَّ إِذَا قَامَ مِنَ الرَّكْعَةِ فَيَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيْ
بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ كَمَا كَبَّرَ عِنْدَ افْتِتَاحِ الصَّلَاةِ ثُمَّ يَفْعَلُ
ذٰلِكَ فِيْ بَقِيَّةِ صَلَاتِهِ حَتَّى إِذَا كَانَتِ السَّجْدَةُ الَّتِيْ فِيْهَا
التَّسْلِيْمُ أَخَّرَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى وَقَعَدَ مُتَوَرِّكٍا عَلَى شِقِّهِ اْلأَيْسَرِ
قَالُوْا صَدَقْتَ هٰكَذَا كَانَ يُصَلِّيْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ))
Abu Humaid mengatakan : “Diantara kalian akulah orang
yang paling tahu tentang sholatnya Rasulullah ﷺ “. Mereka yang hadir mengatakan: “Katakanlah!”. Abu Humaid
pun berkata: “Rasulullah apabila akan sholat beliau berdiri dan mengangkatkan
tangannya sampai sejajar dengan kedua bahunya kemudian bertakbir sampai seluruh
persendiannya berada pada tempatnya sementara tubuhnya tetapa berdiri tegak.
Kemudian beliau membaca ayat Al Qur’an dan diteruskan bertakbir dengan
mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan kedua pundaknya. Kemudian beliau
rukuk dengan meletakkan kedua telapak tangannya ke dua lututnya,
punggungnya tegak lurus, tidak mengangkat
atau menundukkan kepalanya. Kemudian beliau mengangkat kepalanya dan
mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’ dengan mengangkat kedua
tangannya sejajar dengan kedua pundaknya dan berdiri tegak. Kemudian beliau
mengucapkan ‘Allahu Akbar’. Kemudian beliau menurunkan badannya ke tanah, kedua tangannya
menjauhi lambungnya. Kemudian beliau mengangkat kepalanya dari sujud dan
menekuk kaki kirinya serta duduk diatasnya sampai semua persendiannya berada pada
tempatnya. Kemudian beliau sujud yang kedua seperti sujud sebelumnya. Kemudian
beliau bangkit dari sujud dan berdiri serta mengangkat kedua tangannya sampai
sejajar dengan kedua pundaknya seperti bertakbir ketika awal sholat. Beliau
melakukan seperti itu sampai selesailah seluruh rakaat yang beliau kerjakan hingga
melakukan sujud terakhir. Saat itulah beliau menjulurkan kaki kirinya ke kanan
dari tempat duduknya. Beliau duduk tawarruk dengan pinggul rukuk”. Mendengar
penuturan Abu Humaid, mereka mengatakan: “Engkau benar”. Demikianlah Rasulullah
ﷺ melakukan
shalat. [5](HR.
Imam Malik, Abu Daud dan Tirmidzi)
Para
fuqoha’ madzhab berbeda pendapat mengenai jumlah rukun-rukun dalam shalat.
Madzhab Hanafi menyebutkan bahwa rukun-rukun shalat ada 6, yaitu takbiratul
Ihram, berdiri, membaca Al-Qur’an, rukuk, sujud, duduk di akhir sholat selama
tasyahud[6].
Dalam
masalah ini Madzhab Hanafi memiliki pendapat mengenai wajib-wajib shalat yang
berbeda dengan rukun-rukun shalat. Pengertian wajib menurut madzhab ini adalah
segala hal yang ditetapkan dengan dalil yang mengandung syubhat atau kesamaran.
Hukum orang yang meninggalkan wajib-wajib shalat berdosa namun shalatnya tidak
batal dan harus menggantinya dengan sujud sahwi. Akan tetapi, jika dilakukan
dengan sengaja maka ia harus mengulangi shalatnya. Wajib-wajib shalat menurut
Madzhab Hanafi[7]
ada delapan belas sebagai berikut:
1.
Membaca
takbir ketika permulaan shalat
2.
Membaca
Surat Al-Fatihah
3.
Membaca
surat atau ayat Al-Qur’an setelah membaca Al-Fatihah
4.
Membaca
surat pada dua rakaat pertama dalam shalat fardhu
5.
Mendahulukan
bacaan surat Al-Fatihah daripada surat yang lain
6.
Menyatukan
hidung dan kening ketika sujud
7.
Urut
dalam setiap perbuatan yang dilakukan dalam shalat
8.
Thuma’ninah
dalam setiap rukunnya
9.
Duduk
pertama (tasyahud awal) setelah dua rakaat pada shalat yang berjumlah tiga atau
empat rakaat
10.
Membaca
tasyahud ketika duduk pertama
11.
Membaca
tasyahud ketika duduk terakhir sebelum salam
12.
Bergegas
bangkit ke rakaat ketiga setelah membaca tasyahud awal
13.
Mengucapkan
‘as-Salam’ tanpa ‘alaikum’ sebanyak dua kali pada akhir shalat sambil menoleh
ke kanan dan ke kiri
14.
Mengeraskan
suara bagi imam pada dua rakaat shalat shubuh, dua rakaat dalam shalat Maghrib
dan Isya’ meski shalatnya qadha’
15.
Membaca
pelan bagi imam atau makmum pada shalat Dzuhur dan Ashar selain dua rakaat
shalat Maghrib dan Isya’, serta shalat nafilah pada siang hari
16.
Membaca
do’a Qunut dalam shalat witir
17.
Takbir
dalam shalat ‘Id
18.
Diam
dan mendengarkan imam dalam shalat berjama’ah
Adapun
Madzhab Maliki menyebutkan bahwa rukun-rukun shalat ada 14, yaitu niat,
takbiratul ihram, berdiri ketika shalat fardhu, membaca surat Al-Fatihah,
membaca Al-Fatihah dengan berdiri, rukuk, bangkit dari rukuk, sujud, duduk
diantara dua sujud, salam, duduk ketika salam, thuma’ninah, i’tidal dari
rukuk dan sujud, tartib[8].
Madzhab
Syafi’i menyebutkan bahwa rukun-rukun shalat ada 13, yaitu niat, takbiratul
ihram, berdiri dalam shalat fardhu bagi yang mampu, membaca Al-Qur’an, rukuk,
i’tidal dalam posisi berdiri dan thuma’ninah, sujud, duduk diantara dua sujud
dan thuma’ninah, tasyahud, duduk ketika tasyahud, membaca shalawat kepada nabi,
salam, urut dan tertib dalam di setiap rukunnya[9].
Madzhab
Hanbali menyebutkan bahwa rukun-rukun shalat ada 14, yaitu takbiratul ihram, berdiri
dalam shalat fardhu sesuai kemampuan, membaca Surat Al-Fatihah pada setiap
rakaat bagi imam dan orang shalat sendirian, rukuk, i’tidal, sujud, i’tidal
dari sujud, duduk diantara dua sujud, thuma’ninah pada setiap rukunnya, duduk tasyahud
akhir, membaca tasyahud, membaca shalawat kepada Nabi ﷺ, salam ke
kanan, urut[10].
Berikut
adalah penjelasan dari setiap rukunnya:
1.
Niat
Niat secara etimologi bermakna kehendak dan tekad[11].
Secara terminologi syar’i niat adalah tekad dan azzam dalam hati untuk
melakukan ibadah dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah[12].
Menurut pendapat Hanafiah dan Hanabilah dan pendapat rajih di
kalangan ulama Maliki niat merupakan syarat sholat. Sementara Ulama’ Syafi’i dan
sebagian ulama’ Malikiyah berpendapat bahwa niat merupakan bagian dari rukun
shalat, karena niat hanya wajib dilakukan pada salah satu bagian dari shalat
bukan sepanjang waktu. Dengan kata lain, niat wajib dilakukan hanya pada saat
awal saja dan tidak sepanjang waktu ketika sedang shalat.
Para ulama’ sepakat bahwa niat adalah hal yang wajib dilakukan
dalam shalat. Karena tujuan dari pelaksanaan niat adalah untuk membedakan
antara sesuatu yang dimaksudkan ibadah dan sesuatu yang hanya adat (kebiasaan).
Niat juga dimaksudkan ikhlash mengharap ridho Allah dalam mengerjakan segala
perbuatan. Allah berfirman :
وَمَآ أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ
الدِّينَ
“Padahal mereka
hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena
(menjalankan) agama...” (QS Al-Bayyinah: 5)
2.
Takbiratul Ihram
Disebut demikian karena mengharamkan segala jenis perbuatan mubah
dari makan, minum, berbicara, dalam sholat. Hendaknya seseorang yang akan
sholat berdiri dan bertakbir dengan lafadz “Allahu Akbar” dengan bahasa arab
kecuali bagi yang tidak mampu mengucapkannya. Allah berfirman:
وَ رَبَّكَ فَكَبِّرْ
“Dan agungkanlah Rabbmu.”
(QS Al-Muddatsir: 3)
Rasulullah
ﷺ bersabda:
مِفْتَاحُ
الصَّلَاةِ الطُّهُوْرُ وَ تَحْرِيْمُهَا التَّكْبِيْرُ وَ تَحْلِيْلُهَا التَّسْلِيْمُ
“Kunci shalat adalah bersuci, pengharamnya adalah takbir, dan
penghalalnya adalah salam”. [13]
3.
Berdiri dalam shalat fardhu sesuai kemampuan
Berdasarkan firman Allah:
وَقُوْمُوْا لِلّٰهِ قَانِتِيْنَ
“Dan laksanakanlah (shalat) karena Allah dengan
khusyuk”. (QS. Al-Baqoroh: 238)
Berdasarkan
sabda Nabi kepada ‘Imron bin Hushain radhiyallahu ‘anhu yang sedang sakit wasir
ketika ditanya :
صَلِّ
قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى
جَنْبٍ رواه البخاري و زاد النسائي فَإِنْ لَمْ
تَسْتَطِعْ فَمُسْتَلْقِيًا لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Shalatlah kamu dengan berdiri. Jika tidak bisa maka duduklah. Jika
tidak bisa maka shalatlah dengan berbaring.”[14]
An-Nasa’i menambahkan: “Jika tidak bisa maka sholatlah dengan telungkup. Allah
tidak membebani hambanya diluar batas kemampuannya.”
Dalam hadits ini menjelaskan bahwa dalam shalat fardhu harus dengan
berdiri. Jika tidak mampu berdiri karena sakit atau sebab yang lainnya maka
boleh shalat dengan duduk. Jika tak mampu maka boleh berbaring. Bahkan jika
orang sakit yang tak mampu menggerakkan badannya boleh dengan menganggukkan
kepala menurut Hanafiyah. Atau mengedipkanmata menurut Malikiyah. Bahkan
Syafi’iyah dan Hanabilah boleh menggerakkan tubuh di dalam hati.
Perintah shalat dengan berdiri disini
adalah dalam shalat fardhu. Tidak pada shalat sunnah. Karena Rasulullah ﷺ pernah shalat
sunnah dengan duduk ketika safar.
4.
Membaca surat sesuai kemampuan
Madzhab Hanafi berpendapat bahwa membaca ayat Al-Qur’an adalah
salah satu rukun sholat dan tidak mengkhususkan Surat Al-Fatihah. Meskipun
membaca Surat Al-Fatihah adalah hal yang wajib dilakukan dalam pendapat Madzhab
Hanafi. Berdasarkan dalil dari Al-Qur’an. Allah berfirman :
فَاقْرَؤُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنَ اْلقُرْآنِ
Maka bacalah sesuatu yang mudah dari Al-Qur’an. (QS. Al-Muzammil:
20)
Adapun
jumhur ulama’ selain Hanafiyah sepakat bahwa membaca surat Al-Fatihah termasuk
salah satu rukun shalat yang tidak sah sholat seseorang tanpa membacanya. Diriwayatkan
dari Ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا
صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ اْلكِتَابِ
“Tidak sah sholat seseorang yang tidak membaca surat Al
Fatihah” (HR. Muttafaqun ‘alaihi)[15]
Jika seseorang tidak mampu membaca surat Al-Fatihah
sama sekali karena tidak ada orang yang mengajarinya atau tidak adanya mushaf
maka ia boleh mengantinya dengan bacaan lain yang sebanding dengan tujuh ayat
surat tersebut. Ini adalah pendapat yang paling shahih. Bacaan penggantinya
bisa berupa tujuh ayat yang berurutan atau tujuh macam dzikir atau do’a yang
berkaitan dengan akhirat dan tetap menjaga jumlah hurufnya. Pendapat ini disandarkan
hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abi Aufa :
عَنْ
عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى ، قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ
فَقَالَ : إِنِّي لاَ أَسْتَطِيعُ أَنْ آخُذَ مِنَ الْقُرْآنِ شَيْئًا
فَعَلِّمْنِي مَا يُجْزِئُنِي مِنْهُ ، قَالَ : قُلْ : سُبْحَانَ اللهِ ،
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ ، وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ ، وَلاَ
حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ
Dari Abdullah bin Abi Aufa berkata: “ Datanglah seorang
laki-laki kepada Rasulullah ﷺ
mengatakan: “Ya Rasulullah
saya tidak bisa menghafal ayat-ayat Al-Qur’an maka ajarilah aku suatu bacaan
yang dapat menggantikannya”. Maka Rasulullah bersabda: “ucapkanlah subhaanallaah,
wal hamdu lillaah, wa laa ilaaha illallah, wallaahu akbar, wa laa haula wa laa
quwwata illa billaahi al ‘aliyy al adhim”.[16]
Jika memang seseorang tidak mampu membaca surat ataupun dzikir maka
ia diam selama kadar membaca surat Al-Fatihah.
5.
Rukuk
Rukuk secara etimologi berasal dari kata ركع
يركع ركوعا yang berarti menundukkan
atau membungkukkan kepalanya[17]. Secara
terminologi fiqih rukuk berarti menundukkan kepalanya dengan membungkukkan punggungnya,
kedua telapak tangannya memegang kedua lututnya dan meluruskan punggungnya[18]
serta merenggangkan jari jemari.
Madzhab Syafi’i membagi batas minimal ruku adalah dengan
menundukkan kepala. Batas maksimalnya adalah meluruskan punggung dan lehernya
dan memegang lutut dengan kedua tangan dan menghadapkan tangan ke kiblat[19].
Para ulama’ sepakat akan kewajiban
rukuk sebagaimana tertuang dalam firman Allah:
يَٓا
أَيُّهَا الَّذِيْنَ أٓمَنُوا ارْكَعُوْا وَاسْجُدُوْا
“Hai
orang-orang yang beriman rukuklah dan sujudlah.” (QS. Al-Hajj:77)
Ketika rukuk membaca “subhaana rabbiyal’adhim” 3 kali. Sebagaimana
tertuang dalam hadits dari Hudzaifah bin Al Yaman:
عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ اليَمَان أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلُ
اللهِ ﷺ يَقُوْلُ إِذَا رَكَعَ سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلعَظِيْم ثَلَاث مَرَّات وَإِذَا
سَجَدَ قَالَ سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلأَعْلَى ثَلَاث مَرَّات
Dari hudzaifah
bin Al Yaman. Ia mendengar Rasulullah ﷺ ketika
rukuk mengucapkan “subhaana rabbiyal ‘adhim” dan ketika sujud mengucapkan
“subhaana rabbiyal a’la.”[20]
Madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali mengatakan bahwa thuma’ninah
dalam rukuk wajib hukumnya. Dalam rukuk harus disertai thuma’ninah
karena ia termasuk rukun shalat. Thuma’ninah adalah berhenti sejenak dalam
keadaan rukuk sampai persendian berada pada tempatnya. Ini pendapat madzhab Maliki,
Syafi’i dan Hanbali berdasarkan hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda
kepada orang yang buruk shalatnya:
ثُمَّ
ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا
“Kemudian rukuklah
sampai thuma’ninah.”[21]
Sementara itu, Madzhab Hanafi memasukkan thuma’ninah dalam wajib
shalat dan bukan rukun shalat.
6.
Bangkit dari rukuk dan i’tidal
I’tidal termasuk rukun dalam shalat menurut pendapat jumhur. Madzhab
Hanafi mengkategorikan sebagai wajib shalat. I’tidal adalah bangkit dan kembali
ke gerakan sebelum rukuk. Berdasarkan hadits Rasulullah kepada orang yang buruk
shalatnya:
ثُمَّ
ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا
“Kemudian
bangkitlah (dari rukuk) sampai kamu berdiri tegak.”[22]
Bacaan yang dibaca setelah i’tidal adalah “sami’allahu liman
hamidahu”. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا
قَالَ الإِمَامُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا اللَّهُمَّ رَبَّنَا
لَكَ الْحَمْدُ . فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ قَوْلُهُ قَوْلَ الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ
لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Jika imam
mengatakan ‘sami’allahu liman hamidahu’ maka katakanlah ‘rabbanaa lakal hamdu’.
Karena barangsiapa yang mengatakannya bersamaan dengan perkataan malaikat maka ia
akan diampuni dosanya yang telah lalu.”[23]
Seseorang yang tidak melakukan i’tidal baik karena disengaja atau tidak
tahu maka shalatnya batal. Jika lupa, maka ia harus kembali rukuk dan bangkit
darinya. Kemudian ia sujud setelah salam. Kecuali makmum maka ia tidak sujud
karena mengikuti imam yang lupa. Jika imamnya belum kembali rukuk, maka ia
kembali berdiri dan mengulangi sholatnya
seperti yang dikatakan Ibnu Mawaz. Hal ini jika di sengaja. Jika lupa maka
tidak mengulanginya kemudian sujud setelah salam.[24]
Jika seseorang bangkit dari
rukuk karena takut. Misal karena ada ular maka ia dianggap belum melakukan
i’tidal. Karena bangkitnya dari rukuk bukan karena menjalankan rukun sholat,
melainkan karena takut.
I’tidal dengan berdiri tegap dan thuma’ninah. Seperti dalam hadits
rasul kepada orang yang buruk shalatnya.
7.
Sujud dua kali di setiap raka’at
Sujud secara etimologi adalah tunduk, merendahkan diri, condong,
meletakkan dahi ke bumi. Adapun secara terminologi sujud adalah meletakkan dahi
atau bagian sekitarnya di tempat sujud yang tetap dengan gerakan gerakan
tertentu. Setiap rukuk dan sujud ada gerakan turun. Tapi sujud lebih turun dari
rukuk.[25]
Berdasarkan firman
Allah:
يَٓا
أَيُّهَا الَّذِيْنَ أٓمَنُوا ارْكَعُوْا وَاسْجُدُوْا
“Hai
orang-orang yang beriman rukuklah dan sujudlah.” (QS. Al-Hajj:77)
Dalam hadits
Rasulullah kepada orang yang buruk shalatnya. Beliau bersabda:
ثُمَّ
ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا
“Kemudian
sujudlah sampai thuma’ninah.”[26]
Ada tujuh anggota tubuh yang harus ditempelkan pada saat sujud.
Yakni dahi, hidung, kedua telapak tangan, kedua lutut dan ujung jari-jari kaki.
Hal ini berdasarkan riwayat Ibnu Abbas:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ
: أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ : الْجَبْهَةِ - وَأَشَارَ
بِيَدِهِ إِلَى أَنْفِهِ - وَالْيَدَيْنِ ، وَالرُّكْبَتَيْنِ ، وَأَطْرَافِ
الأَصَابِعِ
Dari Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhu. Bahwasanya Rasulullaah ﷺ bersabda: “Aku
diperintahkan untuk sujud dengan menempelkan tujuh anggota badan. Dahi,
-kemudian beliau menunjuk ke hidungnya-, kedua tangan, kedua lutut, dan ujung
jari-jari kaki.”[27]
Ukuran minimal sujud adalah dengan menempelkan sebagian dahinya ke
tempat sholat. Perlu diketahui bahwa tidak diperbolehkan sujud diatas sesuatu
yang bergerak. Misal mukena yang selalu bergerak setiap pindah rukun ke rukun
yang lain. Jika disengaja maka sholatnya batal. Namun jika lupa atau tidak tahu
maka sholatnya tidak batal tetapi ia harus mengulang sujudnya. Inilah pendapat
madzhab Syafi’i.[28]
Disunnahkan membaca subhaana “rabbiyal a’laa”. Berdasarkan hadits
dari Hudzaifah bin Al-Yaman:
عَنْ
حُذَيْفَةَ بْنِ اليَمَان أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ يَقُوْلُ إِذَا رَكَعَ
(سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلعَظِيْم ) ثَلَاث مَرَّات وَ إِذَا سَجَدَ قَالَ (سُبْحَانَ
رَبِّيَ اْلأَعْلَى ) ثَلَاث مَرَّات .
Dari Hudzaifah
bin Al-Yaman bahwasanya dia mendengar Rasulullah ﷺ jika
rukuk mengatakan “subhaana rabbiyal adhim” dan jika sujud beliau mengatakan
“subhaana rabbiyal a’la”.[29]
8.
Duduk diantara dua sujud
Duduk diantara dua sujud beserta thuma’ninah merupakan rukun
menurut jumhur ulama’. Madzhab Hanafi mengkategorikan sebagai wajib shalat. Hal
ini berdasarkan hadits Rasulullah kepada seseorang yang buruk sholatnya. Beliau
bersabda :
ثُمَّ
اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا
“Kemudian
sujudlah sampai thuma’ninah. Kemudian bangkitlah (dari sujud) sampai
thuma’ninah.”[30]
Posisi duduknya seperti duduk iftirosy yaitu duduk dengan
menekuk kaki kiri dan diduduki kemudian menegakkan kaki kanan dengan jari jari
yang menekan ke tanah agar mengarah ke kiblat.
Kemudian membaca membaca “رَبِّ
اغْفِرْلِيْ رَبِّ اغْفِرْلِيْ” berdasarkan hadits dari Hudzaifah bahwa Rasululullah
ﷺ ketika
duduk diantara dua sujud mengatakan “رَبِّ
اغْفِرْلِيْ رَبِّ اغْفِرْلِيْ”.[31]
9.
Duduk selama tasyahud
Duduk selama tasyahud merupakan rukun shalat menurut madzhab
Hanafi, Syafi’i dan Hanbali. Sementara madzhab Maliki mengganggapnya sunnah.
Yang menjadi rukun menurut Maliki adalah duduk ketika akan salam.
Bacaan tasyahud menurut ulama’ fiqih sebagai berikut:
a.
Madzhab
Hanafi[32]
dan Hanbali[33]
berpendapat dari riwayat Abdullah bin Mas’ud bahwa lafadz salam sebagai
berikut:
التَّحِيَّاتُ
لِلَّهِ ، وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا
النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى
عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِينَ ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ،
وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
b.
Imam
Malik[34]
memilih tasyahudnya Umar bin Khathab dari periwayatan Abdurrahman bin abdil
qori
التَّحِيَّاتُ
لِلَّهِ الزَّاكِيَاتُ لِلَّهِ الطَّيِّبَاتُ الصَّلَوَاتُ لِلَّهِ السَّلَامُ
عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلَامُ
عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
c.
Ulama’
Syafi’iyah[35]
mengatakan bahwa bacaan tasyahud yang paling pendek adalah
التَّحِيَّاتُ
لِلّٰهِ, سَلَامٌ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ,
سَلَاٌم عَلَيْنَا وَ عَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِـحِيْنَ, أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ
إِلَّا اللهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ
Adapun bacaan
tasyahud yang masyhur berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas
التَّحِيَّاتُ
اْلمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلّٰهِ السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا
النَّبِيُّ وَ َحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ, السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِـحِيْنَ.
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
Posisi duduk saat tasyahud yang pertama adalah duduk iftirasy[36].
Dan duduk tawarruk [37]pada
duduk tasyahud sebelum salam.
10.
Shalawat kepada Nabi
Syafi’iyah dan Hanabilah mengkategorikannya sebagai rukun. Sependek-pendek
lafadz shalawat adalah ‘Allahumma shalli wa sallim ‘ala muhammad wa aalihi’[38]. Berdasarkan
firman Allah:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Sesungguhnya
Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang
beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh
penghormatan kepadanya. (QS. Al-Ahzab: 56)
Lafadz shalawat yang sempurna adalah sebagai berikut :
اللّٰهُمَّ صَلِّ
عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ, كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَ
عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ, وَ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا
بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
Sementara itu, Hanafiyah dan Malikiyah mengkategorikannya sebagai sunnah
sholat. Barangsiapa yang tidak mampu membaca tasyahud maka boleh dengan membaca
terjemahnya menurut Syafi’iyah.[39]
11.
Mengucapkan salam
Salam pertama sebagai tanda keluar dari sholat ketika posisi duduk.
Malikiyah dan Syafi’iyah mengkategorikan salam pertama sebagai rukun shalat.
Sementera salam yang kedua adalah sunnah. Hanafiyah mengkategorikannya sebagai
wajib shalat.
Mereka menyandarkan pada hadits Nabi ﷺ yang berbunyi:
مِفْتَاحُ
الصَّلاةِ الطُّهُورُ ، وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ ، وَتَحْلِيلُهَا
التَّسْلِيمُ
“Kunci shalat
adalah bersuci, pengharamnya adalah takbir, dan penghalalnya adalah salam”.[40]
Ibnu mundzir mengatakan ahlul ilmi sepakat bahwa sholat dengan satu
salam itu hukumnya boleh[41]. Sementara
Hanabilah mewajibkan kedua salam. Bersandarkan pada hadits dari Jabir bin
Samroh, Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا
يَكْفِى أَحَدَكُمْ أَنْ يَضَعَ يَدَهُ عَلَى فَخِذِهِ ثُمَّ يُسَلِّمُ عَلَى
أَخِيهِ مَنْ عَلَى يَمِينِهِ وَشِمَالِهِ
“Cukuplah bagi
seorang diantara kalian menaruh tangannya di atas pahanya kemudian mengucapkan
salam kepada saudaranya yang berada di kanan dan kirinya.[42]
Ucapan salam hukumnya sunnah menurut Hanbali. Lafadz salam
terpendek adalah dengan mengucap ‘assalaamu ‘alaikum’ dengan bahasa arab,
memakai alif lam (ال) dan tidak ada pemisah antara ‘assalaam’ dan ‘alaikum’. Berdasarkan
hadits dari Wasi’ bin Habban yang menanyakan kepada Ibnu Umar tentang sholat
Rasulullah ﷺ. Maka
Ibnu Umar menjawab:
اللَّهُ
أَكْبَرُ كُلَّمَا وَضَعَ اللَّهُ أَكْبَرُ كُلَّمَا رَفَعَ ثُمَّ يَقُولُ
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ عَنْ يَمِينِهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ
وَرَحْمَةُ اللَّهِ عَنْ يَسَارِهِ
“Beliau
mengucapkan ‘Allahu Akbar’ setiap akan turun dan bangkit. Kemudian mengatakan
‘assalaamu ‘alaikum warahmatullaahi wabarakatuhu’ ke kiri.”[43]
Namun, Syafi’iyah membolehkan tanpa memakai alif lam (salaamun
‘alaikum). Adapun lafadz yang sempurna adalah ‘assalaamu’alaikum wa rahmatullaahi’.
Seseorang yang tidak mengucapkan salam maka tidak sah sholatnya. Ini adalah pendapat
Maliki.
12.
Thuma’ninah dalam gerkan-gerakan tertentu
Thuma’ninah secara bahasa
bermakna tenang. Secara terminologi menetap dan tenangnya anggota badan ditempatnya
dalam waktu sejenak .[44]
Maksudnya tenangnya anggota badan ketika
melakukan rukun-rukun shalat. Thuma’ninah hanya dilakukan ketika rukuk, bangkit
dari rukuk, sujud dan bangkit darinya.
Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah mengkategorikan thuma’ninah
sebagai rukun shalat. Sementara Hanafiyah mengkategorikannya sebagai wajib
shalat. Fardhunya thuma’ninah
tertuang dalam hadits dari Abu Hurairah tentang seseorang yang buruk
shalatnya. Kemudian Rasulullah mengajarkannya. Beliau ﷺ bersabda:
إِذَا قُمْتَ
إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ
ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ
قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى
تَطْمَئِنَّ جَالِسًا وَافْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا
“Jika engkau akan sholat maka bertakbirlah. Kemudian bacalah ayat
dari Al-Qur’an yang mudah bagimu. Kemudian rukuklah sampai thuma’ninah.
Kemudian bangkitlah dari rukuk dan berdiri tegak. Kemudian sujudlah dan thuma’ninah.
Kemudian bangkitlah dari sujud dan thuma’ninah. Lakukanlah semua itu di setiap
sholatmu.”[45]
13.
Urut dalam melaksanakan rukun sesuai yang dicontohkan Rasulullah
Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah mengkategorikannya sebagai
rukun sementara Hanafiyah tidak. Jika ditinggalkan dengan sengaja maka batal
sholatnya menurut Syafi’iyah. Berdasarkan hadits Rasulullah ﷺ
:
إِذَا قُمْتَ
إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ
ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ
قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى
تَطْمَئِنَّ جَالِسًا وَافْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا
“Jika engkau
akan sholat maka bertakbirlah. Kemudian bacalah ayat dari Al-Qur’an yang mudah
bagimu. Kemudian rukuklah sampai thuma’ninah. Kemudian bangkitlah dari rukuk
dan berdiri tegak. Kemudian sujudlah dan thuma’ninah. “Kemudian bangkitlah dari
sujud dan thuma’ninah. Lakukanlah semua itu di setiap sholatmu.”[46]
Wallaahu
a’lam bishawab.
D.
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Berdasarkan
pemaparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa para ahli fiqih berbeda pendapat
dalam masalah jumlah rukun dalam shalat. Setiap dari mereka memiliki pendapat berdasarkan
dalil-dalil dan argumen yang kuat.
Berikut
adalah tabel perbandingan rukun-rukun shalat empat madzhab.
No.
|
Rukun-rukun Shalat
|
Hanafiyah
|
Malikiyah
|
Syafi’iyah
|
Hanabilah
|
1.
|
Niat
|
x
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
2.
|
Takbiratul Ihram
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
3.
|
Berdiri
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
4.
|
Membaca Al-Fatihah
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
5.
|
Rukuk
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
6.
|
I’tidal
|
x
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
7.
|
Sujud
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
8.
|
Duduk antara dua sujud
|
x
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
9.
|
Duduk tasyahud akhir
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
10.
|
Membaca tasyahud
|
x
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
11.
|
Membaca shalawat Nabi
|
x
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
12.
|
Salam
|
x
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
13.
|
Thuma’ninah
|
x
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
14.
|
Tertib
|
x
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
. Demikian
makalah yang dapat saya buat. Harapan penulis semoga makalah yang saya buat
bermanfaat bagi pembaca dan penulis pribadi Jika ada kelebihan maka datangnya
dari Allah. Jika ada kekurangan berasal dari diri saya sendiri karena bisikan
setan. Wallaahu a’lam bishawab.
DAFTAR
PUSTAKA
Ashbahi, Al-,
Malik Bin Anas. Al-Mudawwanah Al-Kubra, Kairo: Dar Al-Hadits, 1426
H/2005 M
Ainani, Al-,
Abu Muhammad Mahmud bin Muhammad, cetakan: 2, Al-Binayah fi Syarh Al-Hidayah, jilid:
2,
Beirut: Dar Al-Fikr, 1990
Bahrawi, Al-, Abdul
Qodir, Fiqih Shalat Empat Madzhab, Tanpa penerbit
Bukhori, Al-,
Muhammad Bin Ismail. Al-Jami’ Al-Musnad Ash-Shahih. 1422 H
Dardayar, Ad-, Ahmad
bin Muhammad bin Ahmad, Asy Syarh Ash Shoghir ‘ala Aqrob Al Masalik Ila
Madzhab Al Imam Malik, Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1119 H
Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, Balai
Pustaka
Jazari, Al-,
Abdurrahman. Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, cetakan: 4, Beirut:
Dar Al Kotob Al-Ilmiyah, 2006 M
Munawwir, Ahmad
Warson. Kamus Al-Munawwir, edisi: 2, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997
M
Mun’im, Mahmud Abdurrahman Abdul, Mu’jam
Al-Mustholahat wa Al-Alfadz Al-Fiqhiyyah, tanpa kota: Dar Al-Fadhilah, tanpa Tahun
Qudamah, Ibnu, Al-Mughni,
cetakan: 4, Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2008 M
Qudamah, Ibnu, Al-Mughni,
penerjemah: Masturi Irham, cetakan: 1, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007 M
Ramki, Al-, Abu
Al-‘Abbas Ahmad Bin Hamzah, Mughni Al Muhtaj ‘ala Syarh Al Minhaj, cetakan:1,
Beirut: Dar Al Fikr, 1997 M
Sarwat, H.
Ahmad, Fiqih Shalat, tanpa penerbit
Syaibani, Al-,
Ahmad Bin Hanbal. Musnad Ahmad Bin Hanbal, Beirut: Alam Al-Kutub, 1998 M
Thahir,
Al-Habib bin, Al-Fiqh Al-Maliki wa Adillatuhu, cetakan: 1, Beirut: Dar
Ibnu Hazm, 1998 M
Zuhaili, Az-,
Wahbah. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus: Dar AlFikr, 1985 M
__________________.
Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, penerjemah: Abdul Hayyie Al Kattani,
Jakarta: Gema Insani, 2010 M
__________________.
Al-Wajiz fii Al-Fiqh Al-Islami,
Cetakan: 1, Damaskus: Dar Al-Fikr, 2007 M
[1] Ahmad Warson
Munawwir, Kamus Lengkap Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka
Progressif), hlm: 529
[2] Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, (Tanpa
Kota: Balai Pustaka), hlm:
[3] Mahmud Abdurrahman Abdul Mun’im, Mu’jam
Al Mustholahat wa Al Alfadz Al Fiqhiyyah, (Tanpa kota: Dar
Al-Fadhilah), jilid 2, hlm: 376
[4] Mahmud Abdurrahman Abdul Mun’im, Mu’jam
Al Mustholahat wa Al Alfadz Al Fiqhiyyah, (Tanpa kota: Dar
Al-Fadhilah), jilid 2, hlm: 377
[5] HR. Imam Malik, Abu Daud dan Tirmidzi
[6] Abu Muhammad
Mahmud bin Muhammad Al-‘Ainani, Al-Binayah fi Syarh Al-Hidayah, (Beirut: Dar
Al-Fikr), jilid: 2, hlm: 175-178
[7] Prof. Dr.
Wahbah Az-Zuhaili, Al Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, penerjemah: Abdul
Hayyie Al-Kattani dkk, (Jakarta: Gema Insani), hlm: 21-26
[8] Ahmad bin
Muhammad bin Ahmad Ad Dardayar, Asy Syarh Ash Shoghir ‘ala Aqrob Al Masalik
Ila Madzhab Al Imam Malik, (Kairo: Dar Al-Ma’arif), hlm: 303-317
[9] Syamsuddin
Muhammad bin Al-Khotib Asy-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani
Alfadz Al Minhaj, (Lebanon: Dar Al-Ma’rifah), jilid:1, hlm: 229-275
[10] Ibnu Qudamah
Al-Maqdisi, Al-Mughni, (Riyadh: Dar ‘Alam Al-Kutub), jilid: 2, hlm:
[11] Dr. Ibrahim
Anis dkk, Al Mu’jam Al Wasith, (Kairo: Tanpa Penerbit), hlm: 1006
[12]
Prof. Dr.
Wahbah Az-Zuhaili, Al Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, penerjemah: Abdul
Hayyie Al-Kattani dkk, (Jakarta: Gema Insani), hlm: 643
[13] HR. Ibnu Majah
no 275 dan selainnya. Syaikh Albani mengatakan hadits hasan shahih
[14] HR. Bukhori
nomor 1117
[15] HR. Bukhori nomor
756 dan Muslim nomor 900
[17] Ahmad Warson
Munawwir, Kamus Lengkap Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka
Progressif), hlm: 528
[18] Mahmud Abdurrahman Abdul Mun’im, Mu’jam
Al Mustholahat wa Al Alfadz Al Fiqhiyyah, (Tanpa kota: Dar
Al-Fadhilah), jilid 2, hlm: 180
[19] Syamsuddin
Muhammad bin Al-Khotib Asy-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani
Alfadz Al Minhaj, (Lebanon: Dar Al-Ma’rifah), jilid:1, hlm: 252
[20]
HR. Ibnu Majah
nomor 888 Syaikh Albani mengatakan hadits shahih
[21] HR. Bukhori
nomor 757 dan
793. Diriwayatkan juga oleh Muslim, , Ahmad, An Nasa’i, Abu Dawud, Tirmidzi dan
Ad-Darimi
[22] Ibid
[23] HR. Bukhori
nomor 796 dan 3228, Muslim nomor 940, Abu Dawud nomor 848, Ahmad nomor 9925
[24] Ahmad bin
Muhammad bin Ahmad Ad Dardayar, Asy Syarh Ash Shoghir ‘ala Aqrob Al Masalik
Ila Madzhab Al Imam Malik, (Kairo: Dar Al-Ma’arif), hlm: 313
[25] Mahmud Abdurrahman Abdul Mun’im, Mu’jam
Al Mustholahat wa Al Alfadz Al Fiqhiyyah, (Tanpa kota: Dar
Al-Fadhilah), jilid 2, hlm: 245-246
[26] HR. Bukhori
nomor 757 dan
793. Diriwayatkan juga oleh Muslim, , Ahmad, An Nasa’i, Abu Dawud, Tirmidzi dan
Ad-Darimi
[27] HR. Ahmad nomor
2778
[28] Syamsuddin
Muhammad bin Al-Khotib Asy-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani
Alfadz Al Minhaj, (Lebanon: Dar Al-Ma’rifah), jilid:1, hlm: 259
[29] HR. Ibnu Majah
nomor 888. Syaikh Albani mengatakan hadits shahih
[30] HR. Bukhori
nomor 757 dan
793. Diriwayatkan juga oleh Muslim, , Ahmad, An Nasa’i, Abu Dawud, Tirmidzi dan
Ad-Darimi
[31] HR. Ibnu Majah
nomor 897 Syaikh Albani mengatakan hadits shahih
[32] Abu Muhammad
Mahmud bin Muhammad Al-‘Ainani, Al-Binayah fi Syarh Al-Hidayah, (Beirut: Dar
Al-Fikr), jilid: 2, hlm: 179
[33] Ibnu Qudamah
Al-Maqdisi, Al-Mughni, (Riyadh: Dar ‘Alam Al-Kutub), jilid: 2, hlm: 220
[34] Al Habib bin
Thahir, Al Fiqh Al Maliki wa Adillatuhu, (Beirut: Dar Ibnu Hazm), jilid:
1, hlm: 220
[35] Syamsuddin
Muhammad bin Al-Khotib Asy-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani
Alfadz Al Minhaj, (Lebanon: Dar Al-Ma’rifah), jilid:1, hlm: 269
[36] Duduk dengan
menekuk kaki kiri dan diduduki kemudian menegakkan kaki kanan dengan jari-jari
kaki yang menekan ke tanah agar mengarah ke kiblat
[37] Duduk dengan menekuk
kaki kiri dan berada di bawah kaki kanan dengan jari-jari kaki yang menekan ke
tanah agar mengarah ke kiblat
[38] Syamsuddin
Muhammad bin Al-Khotib Asy-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani
Alfadz Al Minhaj, (Lebanon: Dar Al-Ma’rifah), jilid:1, hlm: 270
[39] Syamsuddin
Muhammad bin Al-Khotib Asy-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani
Alfadz Al Minhaj, (Lebanon: Dar Al-Ma’rifah), jilid:1, hlm: 272
[40] HR. Ibnu Majah
no 275 dan selainnya. Syaikh Albani mengatakan hadits hasan shahih
[41] Syamsuddin
Muhammad bin Al-Khotib Asy-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani
Alfadz Al Minhaj, (Lebanon: Dar Al-Ma’rifah), jilid:1, hlm: 243
[42] HR. Muslim
nomor 998
[43] HR. An-Nasa’i
nomor 1319 dan 1320
[44] Mahmud
Abdurrahman Abdul Mun’im, Mu’jam Al Mustholahat wa Al Alfadz Al Fiqhiyyah,
(Tanpa kota: Dar Al-Fadhilah), jilid 2, hlm: 436
[45] HR. Bukhori
nomor 757 dan
793. Diriwayatkan juga oleh Muslim, , Ahmad, An Nasa’i, Abu Dawud, Tirmidzi dan
Ad-Darimi
[46] Ibid